Jumat, 22 April 2011

Karena Tidak Ada Manusia Yang Sempurna

Judul di atas terkadang bisa menjadi pendamai ketika sedang bertengkar namun bisa juga menjadi alasan untuk membenarkan sikap diri sendiri yang kurang sesuai dengan seharusnya, atau masih banyak kondisi - kondisi lain.
Yah, memang benar. Semua orang juga pasti setuju, tidak ada manusia yang sempurna. Maka jangan heran dan manja jika kemudian terdapat pertengkaran kecil atau ketidaksesuaian dan ketidaknyamanan dalam keseharian kita. Terutama untuk manusia yang sudah beranjak dewasa, konflik seakan datang tanpa diundang dan dimulai.
Terkadang mungkin kita malah tidak merasa melakukan kesalahan yang dituduhkan kepada kita. Wajar, karena persepsi dan pandangan seseorang pasti berbeda. Contohnya, seseorang yang melihat anak kecil keluar dari kamar orang tuanya dengan membawa selembar uang seratus ribu. Bisa jadi Anda berpikir anak itu mencuri uang orang tuanya, namun tidak sedikit pula yang beprikir bahwa anak kecil itu mungkin sudah meminta izin terlebih dahulu, dan bisa jadi juga, anak itu sudah 'menitipkan' uang tabungannya pada orang tua lalu berniat untuk mengambilnya atau mungkin dia malah diminta orang tuanya mengambilkan uang di kamar.
Banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi dalam sebuah kondisi yang sama mengingat keduanya tidak sempurna, baik Anda sebagai Si pembuat kemungkinan maupun anak kecil itu sebagai objek 'tuduhan'. Anda berada di posisi manusia yang serba ingin tahu dan menduga - duga apa yang mungkin terjadi sebenarnya, namun tentu, Anda tidak boleh bertindak gegabah dan menuduh Si anak begitu saja. Ingat, Anda bukanlah Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Benar. Bahkan tidak jarang pemikiran Anda dipenuhi dengan prasangka negatif terhadap sesuatu.

"Tidak salah selama Anda menggunakan prasangka itu sebagai kewaspadaan, mengingat pengkhianatan, penipuan, dan manipulasi banyak terjadi akhir - akhir ini."

Yah, lagi - lagi karena ketidaksempurnaan manusia. Namun jangan jadikan itu sebagai celah untuk Anda menjadi semakin tidak sempurna. Maksud saya di sini adalah jangan sampai Anda serta merta menuduh seseorang dan menghakiminya tanpa mengetahui fakta yang sesungguhnya. 
Secara pribadi, saya bukan tipikal orang yang terlalu peduli dengan urusan orang lain, bahasa kasarnya "terserah dia mau salto di ujung monas juga asalkan dia nggak bawa nama saya di surat wasiat"

Sarkastik. Terlalu cuek. Sadis.

Terserah Anda ingin men-judge apa pada diri saya. Yang jelas ini akan lebih baik dibanding mereka yang menjadi backstabber, pengecut, pengkhianat, penipu, atau tukang gosip. Gampangnya, saya adalah tipikal orang yang malas mencampuri urusan orang lain karena saya juga tidak suka kehidupan saya diobok - obok oleh orang yang 'tidak tahu apa - apa'.
Jujur, saya tidak suka membicarakan kekurangan orang lain namun dalam beberapa kondisi dan situasi terkadang saya tidak bisa menghindarinya, alhasil saya hanya bisa manggut - manggut untuk menghargai omongan lawan bicara saya.
Sebenarnya sederhana saja, saya tidak suka menjadi tukang gosip karena saya juga tidak suka dibicarakan 'di belakang'. Apalagi berita yang kita bicarakan itu belum tentu benar adanya. Jika Anda memang seorang teman yang baik dan bukannya pengecut, sampaikan saja semua yang tidak mengenakkan itu di depan yang bersangkutan, tentunya dengan cara yang disesuaikan dengan keadaan mental serta psikologis teman Anda itu. Membicarakannya di belakang hanya akan  membuat Anda menjadi tampak semakin tolol dan bodoh. Itu menurut saya, bagaimana tidak, bahkan Anda tega menjelek - jelekkan teman Anda sendiri. Hal itu akan membuat saya malas berteman dengan Anda, cenderung menjauhi, untuk menghindari nasib menjadi korban gosip Anda selanjutnya.
Dengan penuh kesadaran, saya mengakui bahwa saya jauh dari kata 'sempurna', oleh karena itu untuk apa saya repot - repot membicarakan ketidaksempurnaan orang lain di depan yang lain? Lebih baik saya fokus dengan kekurangan saya dan berusaha memperbaikinya sambil mengingatkan baik - baik tentang kekeliruan teman saya. Saya rasa itu lebih berguna dan akan lebih memberikan suatu perubahan positif serta kondisi yang membaik, bukan malah semakin rumit.
Well,sebenarnya terserah Anda jika tetap ingin menjadi tukang gosip atau sejenisnya, tentunya dengan dua catatan penting. Yang pertama, Anda sudah sempurna dan yang kedua Anda siap dihadapkan dalam kondisi seperti yang Anda ciptakan ketika Anda menggosipkan seseorang :)

Jumat, 08 April 2011

Sebuah Penyesalan, Perlukah ?

Banyak kesalahan yang kita lakukan di dunia ini. Sebenarnya bukan salah mereka, dia, atau siapapun. Hal yang Anda dapatkan adalah efek dari apa yang Anda lakukan dan putuskan sedangkan lingkungan sebenarnya tidak perlu dipersalahkan atas apapun kejadian tidak mengenakkan yang Anda alami.

Setiap orang memiliki respon berbeda terhadap hal yang tidak sesuai dengan harapannya, beberapa akan menangis, marah, dan tidak sedikit pula yang cuek. Sedikit atau banyak, pasti terselip penyesalan di benak Anda. Tidak jarang pula beberapa orang akan mulai berandai - andai untuk memperbaiki masa lalunya.

Pembahasan kita kali ini adalah mengenai perlu tidaknya sebuah penyesalan itu ada. Anda mungkin akan bimbang menjawabnya, di satu sisi penyesalan bisa bermanfaat ketika ia akan menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran namun di sisi lain, ada orang - orang yang kemudian malah menjadi terpuruk karena penyesalannya yang berkepanjangan dan terlalu berlarut.

Ya, semua itu bergantung pada siapa subjeknya. Seperti yang telah saya katakan di awal bahwa repon seseorang terhadap sesuatu selalu berbeda. Tidak sedikit mereka yang tampak cuek di uar namun dalam hatinya menjerit dan meraung. Siapa tahu ? Justru repon seperti inilah yang (menurut saya) lebih membahayakan karena rentan terhadap depresi mengingat ia tidak pernah mengungkapkan perasaannya, bahkan terkesan menyembunyikan dan menutup - nutupi.

Jadi sebenarnya bagaimanakah penyesalan yang baik itu ?



1. Ketika penyesalan mampu menjadi bahan evaluasi
Hal terpenting dari sebuah kegagalan, pengalaman, dan cerita adalah sebuah evaluasi di mana evaluasi tersebut terdiri atas introspeksi diri dan sikap serta pandangan mengenai strategi yang kemudian akan diperbaiki dan direncanakan untuk ke depannya agar pencapaian tujuan dapat semakin maksimal.

2. Penyesalan mampu menjadi motivasi
Suatu hal yang menyesakkan, menyedihkan, dan memilukan agaknya akan memberikan efek kenangan yang lebih lama dibanding ketika kita sedang dalam kesuksesan. Hal tersebut sebenarnya justru dapat menjadi motivasi agar kita tidak mengulangi hal yang sama seperti di masa lalu. Jadikan kegagalan Anda sebagai motivasi untuk lebih baik, jangan jadikan ia sebagai penghenti langkah jika Anda tidak mau dicap sebagai pecundang hingga Anda 'tutup buku' nantinya. Berikan hal - hal yang lebih baik, tunjukkan progresivitas hidup Anda sebagai pembuktian bahwa kehidupan Anda di dunia tidak sia - sia dan tanpa pembelajaran sedikit pun.
Tidak usah terlalu muluk, buatlah target keberhasilan dan perbaikan diri sesuai dengan kapasitas Anda dan naikkanlah sedikit demi sedikit sesuai kemampuan. Tidak masalah karena di dunia ini tidak ada hal yang tidak butuh proses, bukan ? Jangan malu untuk merangkak, toh pada akhirnya nanti Anda akan membuktikan pada dunia jika Anda bisa juga menjadi atlit lari yang sangat hebat.
Bukan tidak mungkin jika dalam rangkakan itu Anda akan dicemooh dan dihina semua orang tanpa terkecuali, namun jangan kemudian terpuruk dan drop begitu saja, tunjukkan pada mereka bahwa mereka KELIRU. Jadikan sindiran dan ledekan mereka sebagai cambuk motivasi agar Anda lebih terpacu.
Tidak ada pemenang yang tidak pernah gagal dalam proses latihan, semua hal, sekecil apapun membutuhkan sebuah proses, bahkan ketika dulu saat balita seorang penulis ternama pun akan belajar "memegang" pensil, sama seperti kita. Yang membedakan seorang pecundang dengan pemenang adalah ketika ia berhasil belajarr "lebih banyak" baik dari kesuksesan maupun kegagalan diri sendiri dan orang lain. Justru dengan demikian orang - orang yang hanya bisa menghina dan memandang kegagalan dari sisi negatifnya saja adalah pecundang. 

3. Penyesalan sebagai benteng
Kegagalan bukanlah jurang kehancuran. Tidak ada kehidupan tanpa sebuah kegagalan dan ketidaksesuaian. Tuhan yang begitu baik memberi kita kesempatan untuk 'belajar' lebih di balik hal yang kita tidak sukai. Kegagalan bukanlah suatu 'aib'. Justru jadikan kegagalan Anda sebagai benteng agar Anda tidak mengulangi kesalahan yang sama. Setelah suatu kegagalan terjadi, petik hikmah serta pembelajarannya dan jadikan itu sebagai pelindung untuk Anda agar dapat menjadi lebih baik. Mengulangi kesalahan yang sama juga bukan merupakan sebuah kebodohan keledai menurut saya, setiap kesalahan sedikit  atau banyak memiliki esensi pembelajaran yang berbeda karena saya yakin, kondisi mental-psikis-dan intelektual Anda serta keadaan lingkungan saat Anda melakukan suatu kesalahan tidaklah mungkin dalam posisi yang benar - benar sama seperti sebelumnya. Jangan pernah menyerah dan merasa sebagai keledai, jadikan kesalahan Anda terdahulu sebagai benteng pertahanan di mana setiap kesalahan yang Anda lakukan akan menjadi bata pertahanan pertama yang Anda letakkan. Yang terpenting adalah ketika Anda bersedia untuk SELALU belajar dari penyesalan atas kegagalan yanga Anda dapatkan.

Tidak ada yang salah dengan penyesalan selama kita menempatkannya dalam porsi  dan posisi yang sesuai. Bukan suatu hal yang mudah memang ketika kita 'belajar dari kesalahan'. Justru mungkin mempelajarin 'hal baru' akan lebih mudah namun yakinlah dengan proses yang kita telah komitmenkan untuk jalani dan terus perbaiki, belajar dari kesalahan akan menjadi evaluasi, motivasi, dan benteng yang luar biasa untuk kesuksesan kita nanti :)







Kamis, 07 April 2011

Pernahkah Matahari Berjanji ?

Pernahkah matahari berjanji ?
Untuk keberadaannya setiap hari...
Membagikan sinarnya yang terik, hangat, dan menyilaukan
Yang menyumbangkan nafas - nafas kehidupan hingga kepada makhluk terkecil-Nya
Pernahkah matahari berjanji ?
Bahkan ilalangpun tahu jawabnya, 
Kisah matahari yang sangat luar biasa dalam kebisuan dan kesederhanaannya

***

Aku ingin menjadi seperti matahari yang tidak banyak menjanjikan berderet kalimat memabukkan.


Terlalu banyak berjanji hanya akan membuatmu terbang tinggi di awal cerita namun kemudian terhempas dalam amarah dan kecewa jika aku melanggarnya. Bukannya aku terlalu penakut dan pecundang untuk mengikrarkan sesuatu, aku hanya ingin menjaga perasaanmu.


Aku bukanlah seorang yang selalu bisa menjadi seperti yang kamu mau, aku juga bukan malaikat yang selalu mendampingi kemanapun kamu berada, dan aku bukan Tuhan yang selalu mengerti setiap bisik keinginan dan ketidaksukaanmu. 

Aku dengan segala kekurangan dan ketidaksmepurnaan ini, tidak akan berjanji apapun atas rasa yang telah mengakar. Cukuplah kau merasakannya dalam diamku, tatapku, dan senyumku bahwa aku akan selalu berusaha membahagiakanmu. Entah seberapa jauh jengkalann yang Ia berikan untuk memisahkan kita, bahkan aku tidak peduli.


Aku mencintaimu dengan  caraku yang sederhana; menyimpan namamu dalam setiap doaku, memanjatkan pinta terbaik untuk tiap hembus nafasmu, dengan atau tanpa aku...
Ya, aku hanya ingin kebahagiaanmu. Terdengar muluk mungkin, tapi rasa ini benar - benar telah mengajariku bahwa cinta akan mengantarkanmu pada harapan membahagiakan seorang yang kau cintai, bagaimanapun caranya dan entah akan sesakit apa. Aku tidak akan menyesal karena bahagiaku adalah bahagiamu, bahkan jika itu berarti aku harus meninggalkanmu.



-dedicated for my special one :) I miss you -

IPK, Kunci Sukses Masa Depan (?)


Beberapa mungkin ada yang sampai frustasi hanya karena IPK nya 'terancam' cumlaude namun tidak sedikit pula yang masih adem ayem dengan PMDK - nya (Persatuan Mahasiswa Dua Koma). Sebuah kondisi yang tidak mengherankan ketika seseorang bahkan akan 'malu' dengan dirinya sendiri atas prestasi yang (padahal) merupaka hasil 'kerja keras'nya. Tidak sedikit pula yaang kemudian menganggap IPK adalah suatu 'rahasia perusahaan' yang harus disimpan rapat - rapat dengan kalimat, "IPK ku ? Ada deeeh..." (bahkan IPK seolah telah mampu membuat mahasiswa mulai minder dan tidak menghargai diri sendiri).

Mungkin seperti ranking kelas atau nilai di rapor, IPK dirasa beberapa orang cukup dapat mewakili tingkat kompetensi seseorang dalam suatu bidang keilmuan. Namun kenyataannya, bukannya menjadi sebuah evaluasi pembelajaran untuk ke depannya, IPK seperti telah menjadi suatu prestise tersendiri untuk seseorang atau justru sebaliknya, mahasiswa menganggap IPK sebagai sebuah aib

Hingga kemudian akan muncul pertanyaan, "Apakah IPK merupakan poin terpenting dari bangku perkuliahan ? Dan apakah IPK merupakan modal utama mencapai sukses ?"

Saya rasa tidak.

Banyak aspek yang dapat kita jadikan penilaian tersendiri atau bahkan penilaian yang (menurut saya) lebih penting dibanding rentetan nilai dengan interval nol hingga empat itu. 

Aplikasi pengetahuan
Yah, mungkin terdengar klise. Namun sebenarnya hal itulah yang kemudian akan kita lakukan di lapangan nanti, khususnya bagi mahasiswa kedokteran seperti saya. Kesuksesan dari proses pembelajaran sebenarnya tidak hanya terpaku pada 'IPK cumlaude', 'lulus blok', atau 'tidak pernah remidi', namun ketika kita dapat mendiagnosis hingga menangani pasien dengan benar baik dari segi bio, psiko, maupun sosialnya. 

Ehm... dalam hal ini saya sama sekali tidak menganggap bahwa nilai akademis formil bukanlah suatu hal yang penting, saya hanya berpendapat bahwa itu bukan 'poin utama'nya. Hemat saya, IPK sebenarnya tidak serta merta menjadi tolak ukur kemampuan seseorang dalam bekerja nantinya atau jaminan masa depan seseorang. Sebenarnya tidak sedikit seseorang dengan IPK rata - rata atau bahkan tidak sempat menduduki bangku perkuliahan namun hidupnya sukses dari segi materi. Sekali lagi, saya bukannya menganggap IPK tidak penting. Mengingat bahwa dewasa ini IPK menjadi prasyarat awal dari banyak lowongan - lowongan pekerjaan khususnya dari perusahaan swasta dan memang tidak salah jika kemudian IPK dijadikan sebagai  'salah satu' indikasi kompeten atau tidaknya seseorang. Saya katakan 'salah satu', karena nilai akademis seorang mahasiswa tidak dapat kemudian mutlak dijadikan sebagai satu - satunya parameter kompetensi. 

Intinya, menurut saya sebenarnya hal terpenting dalam suatu akademis bukanlah ketika kita berhasil mendapat nilai sempurna namun ketika kita dapat memahami konsep pembelajaran dan dapat mengaplikasikannya. Khususnya untuk profesi yang nantinya akan terjun ke lapangan, ketrampilan bersosialisasi dan aspek psikomotorik lainnya juga tidak boleh diabaikan. Jangan kemudian hanya terpaku pada lecture, jurnal, dan text book, hingga Anda menjadi sebuah 'robot' yang bekerja terlalu prosedural dan kaku. 

Kembali berbicara tentang IPK yang sering dianggap sebagai goal utama dari perkuliahan hingga kemudian status IPK sebagai bahan evaluasi berubah menjadi sebuah prestis atau aib. Mengapa harus malu dengan IPK yang di bawah rata - rata ? Jika memang itu kemampuan Anda, hargailah. Seseorang dengan kelemahan menghapal, memahami, dan mempraktikkan materi sebenarnya sama sekali tidak perlu berkecil hati. Perkuliahan ada bukan untuk menghasilkan seorang jenius dengan deretan huruf A namun untuk mendidik dan memberi kita pelajaran. Jangan pernah malu dan meng-underestimate diri sendiri. Yakinlah, kalian memiliki kemampuan lebih yang mungkin keahlian yang dapat menjadi modal plus plus untuk karir kalian nantinya. Jangan pernah sepelekan sekecil apapun keahlian Anda, kembangkan, dan jadikann itu sebagai kekuatan dan poin lebih untuk karier Anda nantinya. Suatu hari nanti saat Anda melamar pekerjaan, akan banyak seseorang dengan IPK jauh di atas Anda dan berasal dari universitas yang lebih diunggulkan, namun jika Anda memiliki keterampilan dan keunggulan lebih, Anda akan tampak 'berbeda'. Jangan pernah sepelekan kelebihan Anda, sekecil apapun itu, kembangkan dan jadikan itu menjadi hal yang luar biasa, penghantar kesuksesan masa depan ! Namun jangan kemudian mengesampingkan kekurangan dan berusaha menutupinya. Teruslah belajar dan jangan pernah malu untuk bertanya dan mencari tahu. Perluas cakrawala serta kemampuan dan jadikanlah itu sebagai kunci untuk mencapai sukses. Kekurangan, kesalahan di masa lalu, dan kegagalan bukanlah akhir dari perjuangan, justru jadikan itu semua sebagai alasan Anda untuk tetap berjuang agar mampu mencapai hasil yang lebih baik.



Rabu, 06 April 2011

Bertahan Satu Cinta ?

Sebuah pertanyaan klise yang sering terlontar, "Apakah butuh alasan untuk mencintai seseorang?"


Banyak yang bilang, cinta dengan alasan itu bukan cinta namanya. Namun untuk konteks kali ini saya benar - benar tidak setuju. Dulu mungkin saya sempat sependapat namun sekarang saya mulai sadar, 'kelogisan' dalam sebuah hubungan itu penting kecuali jika Anda "tidak serius" menjalaninya. Kemungkinan yang satu lagi adalah Anda 'tidak mencintai diri Anda'.


Ambil saja contoh jika Anda mencintai orang 'tanpa alasan', hingga bahkan ketika orang yang Anda cinta berubah menjadi kejam lalu menginjak - injak Anda, dengan penuh lapang dada Anda akan terus memberikan toleransi dan Anda tetap mencintainya. Beberapa orang di luar sana akan beranggapan 'Anda hebat', 'Anda penyabar', atau 'Anda luar biasa'. Tapi maaf, saya dengan lantang akan berteriak bahwa Anda BODOH ! Sangat bodoh. Anda berpikir terlalu sempit dengan hanya stuck dengan 1 hal yang sudah jelas - jelas tidak baik jika terus menerus Anda pertahankan.


Tidakkah anda menyayangi diri Anda sendiri ? Tidakkah ada penghargaan untuk diri Anda ? Sebegitu mudahkah hidup Anda termonopoli oleh sebuah nama yang bahkan tidak peduli dengan kesedihan dan masalah Anda ?

Saya hanya merasa 'sedikit' heran dengan tipikal manusia yang terlalu 'nrimo' dalam urusan percintaan.
Bagaimana mungkin Anda tetap berdiri di sana ketika Anda sudah tau bahwa kaki Anda tertusuk paku ?
Atau Anda tetap duduk bersimpuh walau di tengah guyuran hujan ?


Hhmm.. Sepertinya hidup kita terlalu berharga dan tidak bisa disamakan dengan sebuah scene sinetron bukan ? Yah, sekali lagi, itu menurut saya.


Ketika seseorang yang mungkin dulunya begitu hebat dan luar biasa dan Anda mencintainya, saya akan menganggapnya wajar. Namun jika seorang alim ulama itu kemudian berubah menjadi preman terminal, akankah Anda tetap bertahan ? Tidak ada salahnya jika kemudian Anda  tetap menemaninya dan memberi 'tenggang waktu' untuk menyadarkannya dan mengembalikannya seperti dulu. Namun beberapa hal yang Anda harus sadari :

1. Ia tidak akan dengan sengaja berubah brutal jika ia memang mencintai Anda
2. Hidup Anda terlalu berharga untuk sekedar berkutat dan terlalu fokus pada seseorang yang hanya bisa menyakiti Anda
3. Tidakkah miris jika di masa depan nanti Anda akan menyesali waktu penantian penuh kesabaran yang sia - sia dan mengenaskan itu ?
4. Dan yang terakhir . . . . . Ia yang SEKARANG, bukanlah ia yang DULU !

Ya, poin nomor 4 ini yang sering dikesampingkan, kenangan - kenangan manis yang tidak terlupakan di masa lalu selalu menjadi 'benteng kesabaran' dalam menghadapi perubahan - perubahan yang semakin tidak karuan. Padahal tanpa Anda sadari, ia sudah berubah menjadi 'orang lain'. 

Memang tidak mudah untuk mencintai 'dengan logis' seperti itu namun ingatlah bahwa yang KEBAHAGIAAN anda sangatlah penting dan yakinlah bahwa ia bukanlah satu - satunya hal yang bisa membuat Anda bahagia

Perjalanan hidup Anda masih panjang dan Anda bisa mendapatkan yang jauh lebih baik daripada dia, seseorang yang lebih bisa menghargai pengorbanan dan perasaan Anda.


Andai Dia Tahu...

Aroma parfumnya dengan jelas tercium ketika aku tengah luruh dalam peluknya.
Dua tahun sudah aku tak berjumpa dengannya.
Cinta pertama memang tak mudah untuk dilupa, tak mudah pula untuk terganti begitu saja.
Terajut kembali memori - memori manis kami dulu, sungguh masih jelas terekam dalam pikirku.
Rindu ini benar tak bisa tertahan hingga aku menjadi sungguh tak peduli dengan dering telepon yang tak berhenti-berhenti juga.
Hingga akhirnya ia menyuruhku mengangkatnya terlebih dahulu.
Dan terdengarlah suara dari seberang, "Ma, selesai meeting sama klien jam berapa ? Jam berapa kita mau jenguk Papa di Rumah Sakit?" (end)



Kau yang Tak Pernah Peduli

Sudah sekian lama waktuku berjalan dalam ruangmu
Tak hanya hitungan hari, tapi minggu
Tapi sedikit pun kau tak peduli . . .
Namun aku tidak mudah pergi lalu jatuh begitu saja
Aku malah semakin melekat kokoh
Begitu erat seakan tak sudi hengkang jika belum kau usir
Semakin aku mengeras dalam bilikmu
Namun lagi - lagi tetap percuma,
Kau masih tak peduli
Kenapa begitu jarang kau tengok ruangmu itu ?
Tidakkah kau sadar . . .
Telah penuh di dalamnya, aku dan teman - temanku, "upil - upil yang telah berkarak...."

It's All About Wishing A Happy Ending :)

Looking for the summer when snow's dropped
Seems that I do believe, a shiny sun's still existed there 
Trying to liquify the rigidity around me by catching it

And when the teardrop shouted that it's exhausted enough
Also a fatigue's dancing in every hollows of my brain
Soon I realize..
It's not a good story for me
Then, I quest..
Should I close this kind of book and stop reading anymore?
Or just close it and then look for the happy-ending story from others?
But I afraid if the happy plot's actually already begun in the seconds when I left . . 

Well, though dramatize is not my way in order to choose 'anything'
But in this case,
I got it as if there's none of other choice

Should I believe,
That someday......
I have a trustness for opening a new book after closing the earlier one
Or..
Sould I write my ownstory by my ownself  with my own happy-ending?
So there's no pain and traitor . . .